Korban penggusuran di Arab Saudi tak hanya dirampas tempat tinggalnya, mereka
juga berisiko besar kehilangan nyawa.
Ya, di kerajaan kaya minyak itu, menolak penggusuran adalah kejahatan yang
dapat dijatuhi hukuman mati.
Itulah yang terjadi kepada tiga pria dari suku Howeitat yang menentang
pembangunan proyek megacity Neom di atas tanah mereka.
Shadli, Atallah, dan Ibrahim al-Howeiti ditangkap pada tahun 2020 lantaran
bersikeras tetap tinggal di rumah mereka.
Mereka dijatuhi hukuman mati pada 2 Oktober oleh pengadilan pidana khusus Arab
Saudi.
Bagian dari Visi 2030 Kerajaan Arab Saudi, Neom dirancang sebagai kota wisata
di pengunungan lengkap dengan resor ski luar ruangan pertama di Teluk, danau
air tawar buatan, cagar alam, dan diharapkan didukung oleh energi terbarukan.
Pekan lalu, Neom resmi terpilih menjadi tuan rumah Asian Winter Games 2029,
event olahraga musim dingin multicabang antara negara-negara Asia.
Proyek USD 485 miliar (sekitar Rp 7.420 triliun) kebanggaan Putra Mahkota
Mohammed bin Salman tersebut ditargetkan rampung pada 2026.
Sayangnya, ambisi besar tersebut jadi petaka bagi suku Howeitat yang mendiami
bagian barat daya Arab Saudi.
Menurut mereka, pemerintah belakangan ini makin gencar menekan suku Howeitat
agar bersedia meninggalkan tanah leluhur.
Pada bulan Agustus Abdulilah al-Howeiti dan Abdullah Dukhail al-Howeiti diberi
hukuman penjara 50 tahun dan larangan bepergian 50 tahun setelah mendukung
penolakan keluarga mereka untuk diusir dari Tabuk.
Selain itu, Salma al-Shehab dan Nourah binti Saeed al-Qahtani dijatuhi hukuman
masing-masing 34 tahun dan 45 tahun setelah mengkritik pemerintah Saudi di
Twitter.
Osama Khaled menerima hukuman 32 tahun atas 'tuduhan yang berkaitan dengan hak
kebebasan berbicara'.
source:
FAJAR➚
Post a Comment for "Demi Proyek Ambisius Putra Mahkota Sebesar Rp 7.420 Triliun, Tiga Warga Suku Howeitat Dihukum Mati"