BelumAdaJudul.com - Setelah empat mahasiswa Trisakti ditembak secara misterius
oleh peluru tajam pada 12 Mei 1998, emosi masyarakat tidak terbendung.
Masyarakat yang terprovokasi oleh oknum tertentu tidak lagi berdemonstrasi.
Mereka malah melakukan kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran.
Dalam pewartaan Kompas (14 Mei 1998), kerusuhan bermula di Grogol, sekitar
Trisakti dan Mall Ciputra, pada 13 Mei. Masyarakat melempari aparat dengan
batu dan merusak semua yang dilihatnya. Di Mall Ciputra, seluruh mobil yang
terparkir hangus terbakar. Sedangkan di dalam mall seluruh barang dijarah dan
bangunannya di bakar.
Di kawasan Roxy, SCBD Sudirman, dan Jl. Daan Mogot juga terjadi hal serupa.
Banyak bangunan dan kendaraan terbakar, termasuk manusia di dalamnya. Jakarta
dalam sekejap menjadi lautan api. Dan situasi mencekam ini terjadi hingga 15
Mei.
Pada 15 Mei 1998, tepat hari ini 25 tahun lalu, kondisi semakin parah. Kompas
(16 Mei 1998) menjelaskan bahwa selain di Jakarta, kota sekitar seperti Bogor,
Tangerang, dan Bekasi ikut lumpuh. Pusat perbelanjaan dijarah dan dibakar,
ratusan orang tewas terpanggang. Asap hitam tebal membumbung tinggi di
seantero kota.
Dalam laporan Pikiran Rakyat (16 Mei 1998), tercatat ada 273 orang tewas
terpanggang api di pusat perbelanjaan Sentra Plaza Klender Jakarta Timur dan
Ciledug Plaza Tangerang. Mereka diduga gagal menyelamatkan diri atau bahkan
dijebak oleh massa yang tidak menginginkan mereka keluar bangunan.
Penasehat militer presiden Soeharto Letjen TNI Sintong Panjaitan dalam
Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009) mencatat ada 4.939 bangunan
rusak dibakar yang kerugiannya mencapai Rp 2,5 triliun. Ini belum menghitung
ribuan mobil dan motor yang dirusak dan dibakar, serta korban jiwa, baik itu
terluka, meninggal atau mengalami kekerasan seksual.
Masalahnya, kerusuhan yang terjadi sangat bernuansa rasial. Massa memiliki
pola dan target serupa: menyasar etnis Tionghoa sebagai individu dan kaitannya
dengan entitas bisnis mereka. Atas dasar inilah kerusuhan terpusat di beberapa
kawasan yang kental dengan etnis Tionghoa, seperti Glodok, Roxy, Pluit, Senen,
dan Mangga Besar.
Kepada Kompas (11 Juni 1998), Chaerul (43) menceritakan bagaimana dia menjadi
korban dalam aksi rasial itu. Saat itu, rumahnya di Jakarta Utara diserang
massa dan dibakar. Istri dan kedua anaknya tidak bisa menyelamatkan diri.
Ketiganya tewas terpanggang api.
"Saya memang keturunan Cina. Namun, lihat kulit saya, seluruhnya hitam. Saya
merasa sebagai orang Palembang, bukan orang Cina. Salah apa yang telah kami
buat," kata Chaerul sembari menangis.
Lalu, mengapa Tionghoa menjadi target amukan massa dan kerusuhan berubah jadi
sentimen rasial?
Jemma Purdey dalam Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999 (2013)
menjelaskan hal ini terjadi karena ada stereotip terhadap mereka bahwa orang
Tionghoa patut dibenci karena mereka kaya raya, dan dekat dengan penguasa.
Stereotip ini terjadi karena mereka banyak berurusan di sektor bisnis,
sehingga kekayaannya pun meningkat. Sementara stereotip kedekatan dengan
penguasa disebabkan karena saat itu Soeharto sangat dekat dengan taipan Sudono
Salim alias Liem Sioe Liong.
Kedua aspek ini kemudian membentuk pandangan masyarakat bahwa etnis Tionghoa
sudah pasti kaya raya dan dekat dengan penguasa. Maka, masyarakat pun
menjadikan seluruh etnis Tionghoa sebagai sasaran. Bahkan, agar terhindar dari
kekerasan mereka dan penduduk non-Tionghoa sampai menorehkan tulisan "Saya
Pribumi" di depan toko atau rumahnya supaya tidak jadi sasaran massa.
Peristiwa ini kemudian menjadi kerusuhan rasial terbesar di Indonesia di
penghujung abad ke-20. Dan menjadi luka sejarah yang terus menganga karena
tidak berhasil dituntaskan oleh pemerintah.
Sumber :
Tag :
Post a Comment for "25 Tahun Krisis: Jakarta Membara, Mal-Toko Dijarah & Dibakar"