POLITIK IDENTITAS, MENGAPA TIDAK?
Oleh : Prof Dr Amien Rais (Ketua Majelis Syura Partai Ummat)
Saudara-saudara yang kebetulan melihat video saya ini, saya akan menerangkan,
bahwa politik identitas tidak selalu berkonotasi negatif ataupun destruktif.
Saya perhatikan, kebanyakan komentar yang sempat saya ikuti, langsung melompat
ke kesimpulan final: Tolak politik identitas. Mereka bilang, ini akan
menimbulkan perpecahan bangsa.
Namun banyak juga suara yang sebaliknya. Salah satunya suara yang segar dari
Pak Mahfud MD, dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun TV.
Si pewancara berusaha mengarahkan pertanyaan yang jawabannya diharapkan : ya,
betul, politik identitas berbahaya buat bangsa Indonesia.
Namun, dengan calm, karena ditopang dengan pengetahuan yang lebih daripada
memadai, dan pengalaman pemerintahan yang cukup, Pak Mahfud yang jebolan UII
dan UGM menerangkan dengan jernih: Tidak Ada Yang Salah Dengan Politik
Identitas.
There is Nothing Wrong Whatsoever with Identitas Politics!
Pewawancara kemudian menanyakan tentang pernyataan yang mengatakan bahwa
masjid, sebagai tempat kaum muslimin berkumpul untuk beribadah, digunakan
untuk membicarakan masalah-masalah ke-ummat-an, termasuk politik. Bukankah ini
sangat berbahaya, ucap pewawancara.
Lagi-lagi, jawaban Pak Mahfud cukup bijak dan meyakinkan, bahwa sejak jaman
Nabi Muhammad SAW, masjid digunakan oleh ummat islam, sampai sekarang selain
untuk beribadah pada Allah SWT, juga dipakai sebagai tempat kaum muslimin
berbincang-bincang mengenai apa saja yang menyangkut kehidupan mereka.
Kita bahkan menyaksikan bagaimana ada pertemuan paling akbar dari jutaan kaum
muslimin dari berbagai penjuru dunia, di dua masjid yang paling suci, di
Makkah dan Madinah, setiap tahun tatkala mereka menunaikan ibadah haji.
Dan disela-sela ibadah haji itu, selalu ada pertemuan para ulama islam yang
bertukar pikiran dan bertukar informasi mengenai negara masing-masing.
Saya sama sekali bukan tergolong ulama, tapi pernah mendapat kehormatan
diundang dalam pertemuan itu. Ternyata di situ ada Syekh Yusuf Qardawi, Syekh
Ali As-Shobuni, dan ulama terkemuka lainnya.
Tentu, saya hanya menjadi pendengar belaka. Seingat saya, barangkali hanya
satu-dua menit saya berbicara.
Saya terkesan, bagaimana para ulama kaliber internasional itu sangat
memperhatikan perkembangan ummat islam di dunia.
Nah, saya ingin membicarakan politik identitas secara umum.
Literatur mengenai politik identitas sesungguhnya sangat luas, dan dibahas
oleh para pakar denga sorotan ilmu masing-masing. Ada yang menggunakan
antropologi, sosiologi, kebudayaan/culture, ilmu politik, psikologi, dan
pendekatan multi-disiplin ilmu dlsb.
Adapun yang menyebut politik identitas berbahaya, ya itu untuk rezim yang
sedang berkuasa. Mereka ingin melihat rakyat atau masyarakat yang dikuasai,
supaya tenang-tenang saja dan tidak ada goncangan.
Mereka tidak ingin ada kekuatan oposisi yang mengganggu status quo. Menurut
mereka: The status quo must be preserved, opposition is not tolerated. Mereka
menjaga status quo dan tidak ada toleransi buat oposisi.
Ada sementara pakar yang mengatakan bahwa seluruh politik di Amerika Serikat
sejak dulu sampai sekarang sejatinya adalah Identity Politics.
Karena seluruh kekuatan politik di Amerika boleh mencuatkan identitas/jati
diri masing-masing, maka hal-hal yang tidak terbayangkan puluhan tahun lalu,
bisa menjadi kenyataan. Barrack Obama bisa jadi Presiden dua periode,
sesungguhnya berkat politik identitas teman-teman Afro-Americans yang berkulit
hitam.
Malahan negara super-power yang dianggap paling kaya dan paling demokratis itu
beum berhasil menempatkan tokoh perempuan jadi presiden.
Disalib oleh negara-negara barat lainnya, yang mencatat tokoh-tokoh perempuan
berhasil menjadi perdana menteri.
Bahkan disalip oleh beberapa negara muslim seperti Turki, Indonesia, Pakistan
dan Bangladesh yang mengantarkan tokoh perempuan jadi Presiden.
Tansu Ciller di Turki, Benazir Bhutto di Pakistan, Hasina di Bangladesh,
Megawati di Indonesia. Sayangnya seperti kita ketahui, yang terakhir ini tadi
sekarang bicaranya agak centang-perenang karena jarang mengikuti pengajian.
Yang harus kita catat adalah bahwa selama masih ada ketidakadilan atau
kezaliman di negara manapun, hampir otomatis akan muncul politik identitas.
Tidak bisa tidak.
Mereka yang merasakan sebagai kelompok yang dipinggirkan (dimarginalisasi),
ditindas, sering dikriminalisasi, dan dianggap sebagai warna negara kelas dua,
pasti akan beroposisi lewat politik identitas.
Ada baiknya saya kutip pernyataan seorang tokoh perempuan bernama Stacey
Abrams, yang mengatakan: "I embrace identity politics because for the
marginalized, the disadvantaged, and the minority groups still grappling for
purchase in our politics, identity is the strongest defense against
invisibility."
Stacey Abrams ini tokoh perempuan dari kalangan Afro-Americans yang terus
menerus berjuang untuk hak-hak asasi kelompoknya.
Supaya tidak terlalu panjang, saya akan mengerucut pada apa yang dirasakan
oleh ummat islam di negeri muslim terbesar di muka bumi yang bernama
Indonesia.
Wacana yang dijual oleh rezim yang digemborkan selalu adalah politik identitas
harus dijauhi, karna kata mereka, ini akan membelah bangsa.
Wacana otoriter ini yang memborong atau memonopoli kebenaran, justru sangat
berbahaya. Karena tidak boleh lagi ada percakapan politik yang tidak disukai
oleh rezim penguasa.
Saya tandaskan lagi, upaya menakut-nakuti masyarakat luas lewat
pengkambinghitaman politik identitas yang hanya diatribusikan kepada agama
islam inilah, yang akan melahirkan absolutisme politik di Indonesia.
Ini yang harus kita dobrak bersama.
Juga, wacana desktruktif yang dijajakan rezim penguasa sekarang ini adalah
"jangan bawa-bawa agama" dalam politik.
Tentu ucapan-ucapan seperti itu adalah ucapan dari kaum sekularis, atheis, dan
komunis, baik komunis siang maupun komunis malam.
Kesempatan yang lalu saya sudah ingatkan, agitasi propaganda murahan ini
sejatinya untuk mengelabui rakyatnya yang dianggap bodoh oleh mereka.
Rakyat Indonesia cerdas, kita tidak bisa lagi dibodohi dengan mereka yang
memperlihatkan identitas "pura-pura" taat beragamanya dengan memakai kerudung,
dan peci, HANYA KETIKA kampanye pemilu, sekali lagi, HANYA KETIKA MUSIM
KAMPANYE, padahal selama ini tidak pernah melakukannya.
Sekarang coba kita lihat, Jerman, negara maju, makmur dan tinggi kecanggihan
hi-technya di Eropa ini, partai yang terbesar kedua di sana adalah Partai
Kristen, yang melahirkan tokoh-tokoh seperti Konrad Adenaver, Helmut Kohl, dan
Merkel Angela.
Partai yang bernama Christian Democratic Union of Germany itu pada 2001
memenangkan pemilu legislatif di Bundestag, parlemen federal Jerman, dengan
perolehan 152 dari 736 kursi atau 18.9% suara rakyat
Partai-partai Kristen kita lihat juga ada di Belanda, Italia, Australia,
Selandia Baru, dlsb.
Mereka yang teriak-teriak jauhkan agama dari kehidupan politik, berbangsa dan
bernegara, menurut saya sudah ketinggalan kereta peradaban (civilizational
development)
Mereka sudah tercecer dari kemajuan peradaban tetapi mereka mungkin merasa
yakin merekalah yang paling maju dan paling tahu masalah.
Untuk itu jangan sampai, agama dan moralitas yang absolut, terkikis dan
tercerabut dari kehidupan berpolitik kita karna terbawa ucapan: "jangan
bawa-bawa agama dalam berpolitik."
Akhirnya, perlu saya ingatkan bahwa menjadi seorang muslim, adalah sebuah
kemuliaan, bila kita konsisten dan konsekuen menjalankan perintah-perintah
islam. Dalam Al-Quran, Allah SWT memberi tahu kita: "Apakah ada hamba Allah
yang lebih mulia daripada mereka yang mengajak ke jalan kebenaran dan
mengerjakan amal salih dan berkata:"Sesungguhnya saya ini adalah seorang
muslim."" (Surat Fussilat ayat 33)
Juga Allah SWT memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mengajak bertukar
pikiran dengan ahlul-kitab, untuk menegakkan tauhid, tidak berlaku musyrik,
dan tidak menjadikan Tuhan selain Allah.
Dan bila mereka justru berpaling, maka saksikanlah bahwa kami adalah orang
muslim. (Ali Imron 64)
Jadi selama bangsa Indonesia yang berbhinneka tunggal ika (unity in diversity)
menyadari bahwa ada banyak identitas dalam tubuh bangsa, dan selama satu sama
lain saling menghormati dan saling menghargai, maka keberagaman justru menjadi
kekuatan. Bukan kelemahan.
Last but not least, justru politik identitas adalah politik yang pancasilais,
karena berkeTUHANAN YANG MAHA ESA. Politik identitas adalah politik gagasan
dan ide, bukan kebencian. Politik identitas harus mengedepankan persatuan dan
yang paling penting dari itu semua, politik identitas bertujuan untuk mencapai
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dus, Politik Identitas, mengapa tidak?!
Sumber :
FB: Nuim Hidayat➚
Tag :
Post a Comment for "POLITIK IDENTITAS, MENGAPA TIDAK?"